Senin, Februari 04, 2008

The Time When We Met Under The Rain

Hahaha, lagi-lagi penggalan novel gue yang berjudul ~Ketika Mata Rantai Tak Lagi Bertaut~ yang engga kalah aneh bin ajaibnya. Gue seneng aja bikinnya, apalagi untuk bagian yang bakal gue tampilin berikut ini. Adegannya punya kekuatan luar biasa buat gue sebagai penulisnya. Gue harap para pembaca juga bisa enjoy. Here we are!


-----------------------------------------------------------------------------------------------


02.00 PM
Sepanjang SD Preanger II, Supratman


Arya

Anjrit!! Bullshit banget kata-kata mereka semua! Lagian kenapa sih, gue harus dipertemukan lagi sama mereka? Apakah belum cukup semua penderitaan yang gue alami selama ini gara-gara hal busuk yang dinamain kepercayaan itu? Apakah penderitaan bokap-nyokap gue, juga adik gue yang dijadiin jaminan, belum cukup untuk menuhin seluruh kehidupan gue?

“Arya….”

Sial! Lagi-lagi suara itu! Sampai kapan ‘dia’ bakal terus ngedatengin hidup gue? Kenapa ‘dia’ dan mereka semua baru balik sekarang, sementara engga ada seorang pun yang bisa nolong gue tiga taun lalu?

“Arya…. Please, Ya…gue mohon….”

Aaaargh!!! Shit!! Kenapa sih harus selalu ‘dia’? Kenapa selalu ‘dia’ yang muncul di pikiran gue, di benak gue? Gara-gara dia, gue jadi luntang-lantung engga jelas di bawah ujan gini, engga tau mau jalan ke mana!

“Arya….”

Kenapa? Kenapa harus lo yang dateng setelah lo pergi begitu lama?

“Maafin gue….”

Kenapa lo…?

….

Thiva….

….

Ngg? Ke—kenapa…kok dada gue rasanya perih, sakit banget? Kenapa tiba-tiba…gue…rasanya sesek sendirian gini? Kayak ada sesuatu mau keluar dari benak gue, tapi…apa? Kenapa tiap kali gue mikirin dia, gue….

“Arya?”

Eh? Suara tadi?

“Ya? Itu lo, ‘kan? Kenapa lo bisa ada di sini?”

Anjrit!! Kenapa gue harus ketemu lo di saat begini, Va?!


-----------------


Thiva

Hujan dengan derasnya mengguyur sekujur tubuhku. Dingin, seperti jarum es. Namun di tengah dingin menusuk seperti ini, aku tak mengerti, alasan apa yang membawaku untuk memarkirkan mobilku lalu turun berhujan-hujanan mengelilingi lapangan sepak bola becek itu.

Aku berdiri mematung tepat di tengah bangunan yang seharusnya masih ada itu. Sebuah tempat di mana semuanya bermula dan semuanya berakhir, meski aku sama sekali tak menyetujui pernyataan tersebut. Aku tengadahkan kepalaku, kacamataku basah oleh tetes-tetes air di langit kelabu itu. Pandanganku memburam, aku tak lagi dapat melihat apa-apa, hanya abu-abu yang kulihat. Ya, sebagaimana kelamnya penglihatanku tentang kenyataan pahit yang kini terbentang di hadapanku, yang menelan bulat-bulat semua kenangan manis yang telah kubina di tempat ini.

Suara langkah kaki perlahan datang mendekat. Aku menolehkan kepalaku, menemukan sosok seseorang berdiri tak jauh dariku, hanya terhalang lebarnya jalan saja. Namun aku kenal persis sosok lelaki yang berdiri di seberang jalan itu. Sosok kesepian yang tengah kurindukan, tengah kunanti….

“Arya?” panggilku padanya. Kepalanya yang sejak awal ditundukkan, kini menegak. Namun dapat kulihat matanya menyipit sinis menatapku, meski tak sempat pula menyembunyikan keterbelalakannya ketika menyadari kehadiranku di sini.

“Ya? Itu lo, ‘kan?” tanyaku lagi, mulai berjalan mendekatinya. “Kenapa lo bisa ada di sini?”

Alih-alih menghampiriku, lelaki itu mundur dan berbalik, belari meninggalkanku. Sontak aku terkejut dan berlari mengejarnya.

“Arya, tunggu!! Please, Ya, jangan lari dulu!!! Arya!!!! AR—”

Lubang besar yang tertutup genangan air memperosokkan aku ke dalamnya. Dapat kurasakan perihnya kedua telapak tanganku yang menahan jatuhnya tubuhku, sakitnya lututku yang terantuk trotoar, juga perihnya pipi kananku yang tersayat sesuatu. Aku meringis, dapat kurasakan darah hangat mengalir di pipi, bersatu dengan tetesan hujan. Namun aku menengadahkan kepalaku, tetap berusaha untuk bangkit.

Dengan tertatih aku menumpu pada apapun yang mampu kugapai. Perlahan aku bangkit, dan ketika aku melihat ke depanku, Arya tengah berdiri mematung tak jauh di hadapanku, menatapku iba. Telapak tangan kanannya mengepal, seolah menahan sesuatu. Lalu aku berjalan, tak peduli seberapa sakitnya lututku saat itu. Yang kupikirkan hanya mengejarnya, meraihnya agar ia tak pergi ke manapun lagi.

Ketika aku tiba di hadapannya, aku terdiam. Dapat kulihat sinar matanya yang cemas tengah menyusuri seluruh tubuhku, mencari luka-luka akibat jatuhku tadi. Lalu dengan pelan ia berbisik, “Lo engga apa-apa?”

Aku pun menggeleng. Kulihat tangan kanannya merogoh saku celana jins usangnya, mengeluarkan saputangan berwarna kecokelatan. Lengannya lalu bergerak ke arah pipiku, ia mencoba untuk membersihkan darah di wajahku. Refleks kutepis tangannya. Ia pun mengernyit.

“Kena—”

Dengan satu gerakan cepat aku memeluknya erat. Tangisku pun meledak di saat yang bersamaan. “Kakak…. Kakak…. Kak Arya…,” panggilku berulang-ulang. “Gue mohon…balik lagi…kayak dulu…. Gue engga mau…. Gue….”

Arya mengentikan ucapanku seketika. Tangannya yang semula bebas, kini berbalik memelukku pula. Namun perasaan yang kurasakan amatlah aneh, amat berbeda dengan esensi hangat yang kudapatkan empat tahun silam. Kurasakan jantungnya berdegup begitu kencang, napasnya bergemuruh di telingaku, sementara esensi yang kudapat adalah perasaan dingin dan pilu, isyarat aku tengah menyentuh lukanya yang terdalam, yang selalu disembunyikannya,

“Thiva, maaf…,” ujarnya lirih. Suaranya bergetar. “Maafin gue…. Gue…udah engga bisa balik…. Kalau gue balik, gue cuman bakal bikin lo sengsara….

“Gue…bakal bikin lo mati….”


-----------------


Arya

Gue sendiri bingung, kenapa tiba-tiba dia meluk gue sekenceng ini. Gue pun engga ngerti, buat apa gue ngebalik badan lagi dan nunggu dia, ngeliatin dia dengan kasihan, dan nyaris berusaha nolong dia. Kenapa mata gue malah nelusurin seluruh tubuhnya, nyariin luka-lukanya dia? Padahal gue tau betul, apa konsekuensi buat dia kalau sampai dia deket sama gue. Apakah gue…?

Oh ya, gue tau. Gue emang sayang banget sama dia….

“Kakak…. Kakak…. Kak Arya….” Oh my, dia manggil gue dengan sebutan itu, sebutan yang udah lama engga gue denger selama empat tahun ini. Panggilan yang sebenernya…gue kangenin banget. “Gue mohon…balik lagi…kayak dulu…. Gue engga mau…. Gue….”

Dasar cewek. Kalau nangis bisa bikin baju gue anget. Refleks tangan gue bergerak meluk dia. Gue peluk dia erat. Saat ini, gue biarin benteng yang selama ini menghalangi gue untuk terbuka sama dia dan sobat-sobat gue itu terbuka sedikit. Tapi gue tau, gue engga akan mungkin bisa ngebongkar lagi seluruh dinding itu. Gue terlalu capek untuk percaya, atau mungkin sebenernya gue cuman engga mau mereka….

“Thiva, maaf…. Maafin gue…. Gue…udah engga bisa balik….” Gue mohon, mudah-mudahan dia ngerti! “Kalau gue balik, gue cuman bakal bikin lo sengsara….

“Gue…bakal bikin lo mati….”

Sontak dia ngelepasin pelukan gue. Matanya ngebelalak, kaget banget dengan apa yang gue ucapin. Lagian, yang gue ucapin itu bener. Dia engga akan mungkin ngerti, dan kenapa gue bisa sebodoh itu sampe ngarepin dia untuk bisa ngerti? Arya…Arya, lo itu emang bego, ya!

“Maksud lo apa?”

Gue mengedar pandang ke sekeliling, mudah-mudahan ujan ini bisa nutupin semua yang gue lakuin ke dia, dan engga ada satu orang pun yang ngeliat. Gue tatap dia lagi, matanya keliatan bingung, kecewa, engga ngerti, segala macemlah! Pengen rasanya gue bisa jujur sama dia, tapi…kalau gue gitu, dia dan temen-temen lain bakal….

“Kak? Lo denger gue ‘kan, Kak?! Please, kasih tau gue apa yang terjadi sama lo! Biarin gue ngertiin lo lagi! Biarin lo percaya lagi sama gue….”

“LO ENGGA AKAN NGERTI!!!!” Bener-bener, dada gue jadi sakit banget, entah karena kata-kata dia, atau hati gue yang terlalu sayang sama dia sampai bisa nyakitin dia kayak gini. “Lo engga akan ngerti, Va!! LO ENGGA AKAN PERNAH—”

“APANYA YANG GUE ENGGA AKAN NGERTI, KAK?! LO YANG ENGGA NGEBIARIN GUE MASUK LAGI KE DALAM KEHIDUPAN LO, ‘KAN!!”

Dia ngejerit, natap gue tajem tanpa henti. Tapi…. Sial!! Dia pake mau nangis segala, lagi! Kenapa sih, gue selalu nyakitin dia kayak gini?

“Bahkan orang tua lo juga sama, mereka nutup pintu hati mereka ke gue dan sama sekali engga ngebiarin gue masuk! Apa yang sebenernya terjadi sama lo dan keluarga lo, Kak? Kenapa lo udah engga mau lagi ketemu kita semua? Apa yang salah dari kita semua, Kak?”

Anjrit!! Dia ke rumah gue?

“Lo…ngapain pake dateng ke rumah gue?”

Sejenak dia nunduk, kayak ragu mau ngomong.

“Ya, maafin gue…. Gue cuman….”

“Bener, Va. Lo tuh engga akan pernah ngerti apa-apa lagi tentang gue. Sekarang, tinggalin hidup gue! Jangan pernah lagi lo datengin gue dan keluarga gue, begitu juga sama yang lain. Paham!”

“Engga, Ya…. Engga gini…. Ada yang harus kita beresin. Ada yang….”

“DIEM!!! TINGGALIN GUE, THIVA!!”

Tanpa basa basi gue langsung berbalik dan lari, meski masih bisa gue denger teriakan dia yang manggil nama gue bersamaan mata gue yang jadi panas dan dada gue yang perih engga karuan….


-------------to be continued-----------------------------------------------------------------


Gimana? Aneh, yah? Hahaha, tapi itulah yang terjadi di antara dua tokoh yang awalnya begitu dekat dan menyayangi satu sama lain ini. Hanya sedikit masalah membuat rasa kepercayaan di antara mereka goyah dan hancur. Intinya sih itu aja. Thanks for reading the story....