Minggu, Februari 03, 2008

Percakapan Kecil Di Antara Rintik Hujan

Ini cuma sebuah penggalan dari novel gue yang belum jadi, yang berjudul REGEN ~When I See The Rain~. Hahaha, gue cuma lagi pengen nulis aja apa yang kebayang di pikiran gue tentang dua tokoh yang asli unik aneh bin ajaib ini. Enjoy!


--------------------------------------------------------------------------------------


Satu jam berlalu semenjak seorang lelaki tua dipindahkan dari ruang ICU ke kamar mayat. Kaniesha, Andrew, Bibi Kannia, serta Paman Ferdy sudah datang dan tengah menunggu sanak saudara lainnya di ruang tunggu depan kamar mayat Rumah Sakit Hassan Sadikin Bandung. Sementara Kyra dan Rama sendiri tengah duduk berdiam diri di lobby ruang tunggu rumah sakit tersebut. Kyra masih sesekali menyeka air mata yang tak mau berhenti mengalir dari pelupuk matanya, sedangkan Rama tak henti-hentinya menghela napas berat.

Hujan pun turun perlahan di luar sana. Kyra menatap hujan itu sesaat, tak lama ia tersenyum getir.

“Kenapa?” tanya Rama pelan. Kyra menggeleng.

“Udah lama rasanya aku engga ngeliat hujan,” jawab Kyra. Senyum masih mengambang di bibirnya. “Setiap kali aku ngeliat hujan, aku yang lain pasti terbangun dan membuat masalah lain dalam hidupku.”

Pemuda di sisinya itu menatapnya, tak percaya. “Kamu sudah tahu, semuanya?”

“Iya. Mimpi dan diriku yang satunya lagilah yang menemuiku, menceritakan semua yang sudah dilakukannya terhadap orang-orang yang membenciku…tidak, lebih tepatnya orang-orang yang kubenci…. Kamu sendiri, tahu dari Kakek, ya?”

Pemuda itu lalu tersenyum simpul. “Kamu…engga jadi ngebunuh aku? Hari ini hari ketiga, ‘kan? Hujan lagi…. Biasanya kamu selalu ngebunuh orang di hari ketiga setelah kamu neror orang itu untuk pertama kali, iya ‘kan?”

“Untuk apa?” tanya Kyra. “Aku ngerasa engga punya alasan untuk ngebunuh kamu. Aku malah seharusnya berterima kasih sama kamu, kamu udah nelepon aku dan keluargaku, ngabarin soal kakek….”

“Engga perlu makasih. Itu cuman kebetulan aja. Aku memang lagi nyari kakekmu, nyari tahu tentang siapa kamu sebenernya….”

“Dan…akhirnya kamu tahu?”

Rama mengangguk perlahan. Kyra menatapnya, namun Rama tetap tidak melihat kepadanya.

“Kenapa? Kenapa kamu sampai lakuin hal seperti ini, demi aku yang…kotor ini?”

“Kamu engga kotor. Aku cuman mau bantuin kamu aja.” Sejenak Rama menoleh pada Kyra, dan tersenyum samar. “Aku mau bantuin kamu keluar dari kolam darah yang selalu kamu selami selama ini, itu aja.”

“Tapi aku udah ngebunuh orang, Ram…. Aku pembunuh…. Aku engga pantes ngerasain kehidupan damai lagi. Mungkin tempat yang pantes buatku itu yaa, rumah sakit jiwa….”

Air mata kembali mengambang di mata Kyra. Ia masih belum bisa menerima semua kenyataan, beban kehidupan yang ia pikul di bahunya sendirian. Perasaan bersalah menyesap memasuki batinnya. Dingin kembali mencekam, menyesakkan dan menyakitkan. Ia merasa tubuhnya begitu kotor, berlumpur dosa dan dusta.

Namun sebuah tangan hangat menyentuh permukaan hatinya yang membeku.

Dengan lembut, Rama merangkulnya dan menyandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu. Dielusnya kepala Kyra perlahan. Meskipun tak ada kata-kata apapun dari mulutnya, namun Kyra tahu Rama tengah menawarkan sebuah kehangatan untuk mencairkan sesak yang membelenggunya. Tak dapat menahan perasaannya, Kyra menghanyutkan dirinya di dada Rama, menangis dan menumpahkan segala beban yang menghimpitnya di dada bidang pemuda itu. Dapat dirasakannya pula, kedua tangan hangat Rama yang merengkuh dirinya, membelainya dan menghangatkan dirinya.

“Kyra…maafin aku…,” ujar Rama lirih, nyaris berbisik. “Maafin aku…aku udah gagal jadi orang yang seharusnya ngelindungin kamu…. Maafin aku…. Maaf….”

Gadis itu bergeming, tetap menangis di pelukan Rama. Tanpa Kyra ketahui, hati Rama pun gemetar, seolah dapat merasakan pedih yang tengah Kyra alami. Pemuda itu pun mengeratkan pelukannya pada Kyra, berusaha mengusir semua gundah yang dirasakan gadis itu.

Hujan deras terus mengguyur bumi tanpa hent. Namun kali ini tanpa petir dan halilintar. Hanya tetesan-tetesan air yang mengisi sunyi di antara dua hati yang kelu itu.

Lama Kyra membenamkan wajahnya di dada Rama, hingga akhirnya ia berhenti menangis dan melepaskan diri dari pelukan Rama. Ditatapnya Rama begitu dalam, hingga Kyra menemukan sepasang mata yang balik memandangnya dengan lelah. Begitu lelah.

“Maafin aku ya, Ram…. Aku sempet marah-marah engga jelas waktu itu sama kamu….”

“Engga. Yang harusnya minta maaf itu aku,” balas Rama menepis permintaan maaf Kyra. “Aku udah bikin kamu kecewa….”

“Udah aku maafin, kok,” ucap Kyra sembari tersenyum polos. “Toh aku engga jadi ngebunuh kamu, ‘kan?”

Sejenak Rama terdiam, lalu ikut tersenyum. Kyra terpana, baru kali ini ia melihat senyum tulus yang hangat dari seorang Rama. Selama ini ia hanya mendapat pandangan mata tajam, senyum samar, atau senyum simpul yang diberikan pemuda itu padanya. Namun kali ini berbeda. Senyum itu begitu hangat dan damai, beserta tatapan mata pemuda itu yang meneduh.

“Makasih….”

Kyra mengangguk. “Sama-sama. Oh ya, Ram, kamu nanya engga ke kakek, tentang cara supaya aku bisa bebas dari kepribadian keduaku?”

“Bilang,” jawab Rama. “Kakek bilang engga ada, kecuali….”

“Kecuali apa?”

Sebelum menjawab, Rama menghela napasnya. “Kamu hilang bersama kepribadianmu itu. Intinya….”

“Aku bisa lepas dari semua itu kalau aku…mati?”

“Yang aku tangkap sih begitu,” ujar Rama. Namun cepat-cepat ia menambahkan. “Tapi, aku pasti bakal nemuin caranya suatu saat nanti. Kamu engga perlu khawatir, pasti ada jalan yang bisa kamu tempuh….”

Giliran Kyra yang terdiam sejenak. “Begitu, ya?” ucapnya lemah, sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Rama. Namun entah mengapa, Kyra tidak terlalu terpukul. Alih-alih bersedih, ia malah memikirkan satu-satunya jalan yang mungkin bisa ditempuhnya, asalkan ia terus bersama Rama.

“Hei, Rama…. Mau janji satu hal engga, padaku?”

Rama menoleh ke arahnya. “Apa itu?”

Gadis itu balas memandang Rama, tersenyum manis meskipun terlihat sesirat kesedihan di matanya. “Kalau suatu saat aku berubah lagi, berjanjilah bahwa kamu akan mengentikan aku, bagaimanapun caranya….

“Bahkan kalau kamu harus membunuhku, lakukan saja. Janji, ya! Jangan biarkan aku membunuh orang lain lagi!”

Sesungguhnya Rama tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun melihat mata Kyra yang jernih, Rama tak kuasa menolak. Ia mengangguk dan menyambut jari kelingking Kyra yang sedari tadi telah disorongkannya.

“Aku janji….”


----------------------------------------------------------------------------------------


Nampaknya sedikit menyedihkan, menyebalkan, dan bikin penasaran, yah? Itu cuma penggalan aja, sedikit percakapan yang sebenernya memuat intisari cerita ini. Ada yang udah bisa nebak akhir ceritanya? Yang menang bakal dapet piring cantik dari indomie (halah! apa sih, ga jelas banget!!!)

Tidak ada komentar: