Minggu, Februari 10, 2008

Hujan Hujan Di Dinding, Diam Diam Menetes

Well, hari yang cukup dingin, dari pagi ujan dan bawaan males pengen tidur. Hahaha, dasar kebo guling!! Hari ini ngebahas apa, yah?

Udah lima hari gue ga update blog. Alasannya? GUE GILA!!! Damn!! Am I really crazy? Am I really freak, spoiled little psycho? Haha, gue sendiri engga tau deh. Banyak banget yang bikin gue kesel kemarin-kemarin. And guess what, I almost tried to suicide, for the 3rd time in my life. Tapi lagi-lagi, Tuhan nyelametin gue, entah apa alasannya. Mungkin masih banyak yang harus gue liat, gue alami, dan gue rasapi dalam hidup gue yang dangkal banget luar biasa ini.

Haha, sudahlah. Kita akhiri topik yang menyebalkan ini.

Gue lagi seneng nonton Constantine sama Perfect Stranger lagi nih. Tau deh kenapa, apa mungkin karena gue suka beberapa quote yang ada di situ kali, ya? Itu dua film dahsyat yang lumayan mempengaruhi gue yang pernah gue tonton selama ini. Entah untuk yang keberapa kalinya gue muter film tersebut. Selain itu, Keanu Reeves-nya keren banget!!! Kalo di Perfect Stranger, gue suka yang meranin Miles-nya, si Giovanni siapaaaaa gitu. Keren aja karakternya. Mirip sama seseorang yang gue kenal (halah!!)

Anyway, gue barusan ngobrol sama seorang sahabat lama yang lagi gue kangenin banget. Gue jadi teringat sebuah cerita lucu antara gue dan dua guru gokil gue tentang TOGEL. Gue engga akan sebut nama, tapi yang gue sebutin adalah nama mata pelajaran yang mereka ajarin, beserta Mr dan Mrs di depannya. Ok, here we are!


Suatu hari, seorang murid SMP--sebutlah Tea--sedang berleha-leha di lab fisika setelah ada exkul hari Sabtu. Guru pembimbingnya, Mrs. Biologi, tiba-tiba datang dan memintanya ke ruang guru. Tea menurut. Ia melangkahkan kakinya ke ruang guru yang sepi, hanya ada dirinya, Mrs. Biologi, lalu terlihat Mr. Geografi yang sedang menunduk di meja paling ujung, entah sedang memasukkan nilai, memeriksa ulangan, atau malah membaca Jakarta Undercover dengan khidmatnya. Tea setelah itu berjalan ke arah komputer, di mana Mrs. Biologi sudah menunggunya.

Mrs. Biologi : "Kamu bantuin ibu masuk-masukin nilai kakak kelas kamu, ya!"
Tea : "Sip, Bu!"
Mrs. Biologi : "Ya. Dimulai dari kelas 3A. Urutin dari absen pertama, ya!"
Tea : "Hmm.... 3A...." (seraya membuka-buka daftar nilai seadanya itu) "Urutan dari awal, 80-93-97-85-67-71-73-75-63-bla bla bla...."
Mrs. Biologi : "Ok. Terus, yang 3B."
Tea : (membuka halaman berikutnya, dan mulai mengucapka angka satu persatu) "73-85-93-71-89-66-69-79-85...."

Tiba-tiba, pintu menjeblak terbuka dengan kencang. Seorang guru pria, masuk sembari celingukan.

Mr. Agama : "SIAPA ITU YANG LAGI MAEN TOGEL?!!"
Tea : (berhenti bacain nilai, shocked)
Mrs. Biologi : "Pak, dia bukannya maen togel. Dia lagi bantuin saya masuk-masukin nilai anak kelas tiga ke komputer"
Mr. Agama : "Waaah, Ibu ngerusak, nih! Masa Ibu ajarin murid Ibu maen togel?!"

Saat itu, Tea engga tau harus ketawa atau harus nangis.


Hahaha, cukup konyol dan aneh, bukan? Itu pengalaman gue saat gue kelas 2 SMP. Baru aja gue ceritain ke sobat gue (waktu itu kita belum jadi sobat, bahkan kenal aja belum). Dia ngakak engga karuan. Hahaha, gue jadi inget masa-masa SMP gue, pahit tapi...bener-bener nyenengin dan anget banget untuk dikenang.

Udah dulu ah, jari gue udah lumayan pegel nih ngetik, soalnya tadi pagi berhasil ngetik cerpen lagi yang udah gue post-in ke fictionpress.com (check out my fictionpress.com's ID, there's a story named A Call From The Rain, that's the story). Hahaha, engga ada kerjaan, mari kita nonton Constantine lagi, mencari line heboh yang bisa dipalak dan dijadiin inspirasi.


Thanks for reading....^_^

Selasa, Februari 05, 2008

Riset di Siang Hari

Well, di jam komputer gue sekarang lagi jam 11:51. Hahaha, matahari udah bertengger nih di atas kepala gue! Ditemani sama es krim vanila-oreo (gue engga tahu nama yang benernya apa) yang dibeli dari PT RASA Bandung (hueeeh, enak banget! DIREKOMENDASIKAN!!!!!!), dan BGM sebuah lagu jebot dari Oom Katon Bagaskara feat. Tante Ruth Sahanaya, yap, apalagi kalau bukan Usah Kau Lara Sendiri. Gilaaaa, gue lagi suka (lagi) sama lagu ini. Ini lagu dari jaman gue TK...apa SD gitu. Dulu gue suka ama musiknya doang plus video klipnya. Meskipun gue engga ngerti apa artinya, tapi kayaknya kok gue sediiiiih gitu kalo nontonnya. Eh begitu gue gede nih, gue jadi ngerti banget arti tu lagu. Edaaaaan, miris banget lah buat gue!

Lah, terus ngapain siang-siang panas gini gue denger Usah Kau Lara Sendiri?

Hahaha, sebenernya gue sambil nyari-nyari data, ngeriset, dan nyari inspirasi buat novel--engga, sebutlah PROJECT--kedua gue (yang pertama udah jadi meskipun belum diterbitin sementara yang ketiga...ada sebuah alasan hingga gue bakal mikir jutaan kali untuk nerbitinnya).

Emang ada apa dengan project kedua gue? Huhu, begini ceritanya....

Intinya sih, gue menghadirkan dua tokoh, seorang cewek yang awalnya alim banget dan baik luar biasa yang berubah 180 derajat dan masuk ke sebuah kehidupan lain yang diperkenalkan seorang cowok padanya. Nah, si cowok ini tuh tipikal-tipikal cowok bandel, brengsek, bejat, bengal, bangsat, pokoknya another b-things lainnya deh. Awalnya si cewek enjoy dengan kehidupan barunya, sampai akhirnya dia sadar bahwa yang dia dapetin cuma sebuah kehampaan yang luar biasa. Di saat ni cewek mulai tobat dan kembali ke jalan hidupnya yang lama, dia yang tadinya berniat ngajakin si cowoknya untuk sama-sama tobat, malah nemuin si cowoknya menggelepar gara-gara OD, padahal ni cewek sama sekali engga tau kalau cowok itu ternyata pengguna narkotika.

Inti ceritanya sih gitu. Makanya lagunya Usah Kau Lara Sendiri, pas banget buat ceritanya, 'kan? Yang gue riset juga rata-rata tentang overdose sama narkotika gitu. Lumayan sih dapet banyak refrensi dari Oom Google dan Tante Wikipedia (thanks for both of you!!!).

Hahaha, insya 4JJI sih ceritanya bakal kayak gitu alurnya. Tapi mungkin nantinya bakal ada beberapa yang dirubah lagi. Ya sudahlah, mau nyari-nyari ide lagi, nih!

Ja ne!!!

Senin, Februari 04, 2008

The Time When We Met Under The Rain

Hahaha, lagi-lagi penggalan novel gue yang berjudul ~Ketika Mata Rantai Tak Lagi Bertaut~ yang engga kalah aneh bin ajaibnya. Gue seneng aja bikinnya, apalagi untuk bagian yang bakal gue tampilin berikut ini. Adegannya punya kekuatan luar biasa buat gue sebagai penulisnya. Gue harap para pembaca juga bisa enjoy. Here we are!


-----------------------------------------------------------------------------------------------


02.00 PM
Sepanjang SD Preanger II, Supratman


Arya

Anjrit!! Bullshit banget kata-kata mereka semua! Lagian kenapa sih, gue harus dipertemukan lagi sama mereka? Apakah belum cukup semua penderitaan yang gue alami selama ini gara-gara hal busuk yang dinamain kepercayaan itu? Apakah penderitaan bokap-nyokap gue, juga adik gue yang dijadiin jaminan, belum cukup untuk menuhin seluruh kehidupan gue?

“Arya….”

Sial! Lagi-lagi suara itu! Sampai kapan ‘dia’ bakal terus ngedatengin hidup gue? Kenapa ‘dia’ dan mereka semua baru balik sekarang, sementara engga ada seorang pun yang bisa nolong gue tiga taun lalu?

“Arya…. Please, Ya…gue mohon….”

Aaaargh!!! Shit!! Kenapa sih harus selalu ‘dia’? Kenapa selalu ‘dia’ yang muncul di pikiran gue, di benak gue? Gara-gara dia, gue jadi luntang-lantung engga jelas di bawah ujan gini, engga tau mau jalan ke mana!

“Arya….”

Kenapa? Kenapa harus lo yang dateng setelah lo pergi begitu lama?

“Maafin gue….”

Kenapa lo…?

….

Thiva….

….

Ngg? Ke—kenapa…kok dada gue rasanya perih, sakit banget? Kenapa tiba-tiba…gue…rasanya sesek sendirian gini? Kayak ada sesuatu mau keluar dari benak gue, tapi…apa? Kenapa tiap kali gue mikirin dia, gue….

“Arya?”

Eh? Suara tadi?

“Ya? Itu lo, ‘kan? Kenapa lo bisa ada di sini?”

Anjrit!! Kenapa gue harus ketemu lo di saat begini, Va?!


-----------------


Thiva

Hujan dengan derasnya mengguyur sekujur tubuhku. Dingin, seperti jarum es. Namun di tengah dingin menusuk seperti ini, aku tak mengerti, alasan apa yang membawaku untuk memarkirkan mobilku lalu turun berhujan-hujanan mengelilingi lapangan sepak bola becek itu.

Aku berdiri mematung tepat di tengah bangunan yang seharusnya masih ada itu. Sebuah tempat di mana semuanya bermula dan semuanya berakhir, meski aku sama sekali tak menyetujui pernyataan tersebut. Aku tengadahkan kepalaku, kacamataku basah oleh tetes-tetes air di langit kelabu itu. Pandanganku memburam, aku tak lagi dapat melihat apa-apa, hanya abu-abu yang kulihat. Ya, sebagaimana kelamnya penglihatanku tentang kenyataan pahit yang kini terbentang di hadapanku, yang menelan bulat-bulat semua kenangan manis yang telah kubina di tempat ini.

Suara langkah kaki perlahan datang mendekat. Aku menolehkan kepalaku, menemukan sosok seseorang berdiri tak jauh dariku, hanya terhalang lebarnya jalan saja. Namun aku kenal persis sosok lelaki yang berdiri di seberang jalan itu. Sosok kesepian yang tengah kurindukan, tengah kunanti….

“Arya?” panggilku padanya. Kepalanya yang sejak awal ditundukkan, kini menegak. Namun dapat kulihat matanya menyipit sinis menatapku, meski tak sempat pula menyembunyikan keterbelalakannya ketika menyadari kehadiranku di sini.

“Ya? Itu lo, ‘kan?” tanyaku lagi, mulai berjalan mendekatinya. “Kenapa lo bisa ada di sini?”

Alih-alih menghampiriku, lelaki itu mundur dan berbalik, belari meninggalkanku. Sontak aku terkejut dan berlari mengejarnya.

“Arya, tunggu!! Please, Ya, jangan lari dulu!!! Arya!!!! AR—”

Lubang besar yang tertutup genangan air memperosokkan aku ke dalamnya. Dapat kurasakan perihnya kedua telapak tanganku yang menahan jatuhnya tubuhku, sakitnya lututku yang terantuk trotoar, juga perihnya pipi kananku yang tersayat sesuatu. Aku meringis, dapat kurasakan darah hangat mengalir di pipi, bersatu dengan tetesan hujan. Namun aku menengadahkan kepalaku, tetap berusaha untuk bangkit.

Dengan tertatih aku menumpu pada apapun yang mampu kugapai. Perlahan aku bangkit, dan ketika aku melihat ke depanku, Arya tengah berdiri mematung tak jauh di hadapanku, menatapku iba. Telapak tangan kanannya mengepal, seolah menahan sesuatu. Lalu aku berjalan, tak peduli seberapa sakitnya lututku saat itu. Yang kupikirkan hanya mengejarnya, meraihnya agar ia tak pergi ke manapun lagi.

Ketika aku tiba di hadapannya, aku terdiam. Dapat kulihat sinar matanya yang cemas tengah menyusuri seluruh tubuhku, mencari luka-luka akibat jatuhku tadi. Lalu dengan pelan ia berbisik, “Lo engga apa-apa?”

Aku pun menggeleng. Kulihat tangan kanannya merogoh saku celana jins usangnya, mengeluarkan saputangan berwarna kecokelatan. Lengannya lalu bergerak ke arah pipiku, ia mencoba untuk membersihkan darah di wajahku. Refleks kutepis tangannya. Ia pun mengernyit.

“Kena—”

Dengan satu gerakan cepat aku memeluknya erat. Tangisku pun meledak di saat yang bersamaan. “Kakak…. Kakak…. Kak Arya…,” panggilku berulang-ulang. “Gue mohon…balik lagi…kayak dulu…. Gue engga mau…. Gue….”

Arya mengentikan ucapanku seketika. Tangannya yang semula bebas, kini berbalik memelukku pula. Namun perasaan yang kurasakan amatlah aneh, amat berbeda dengan esensi hangat yang kudapatkan empat tahun silam. Kurasakan jantungnya berdegup begitu kencang, napasnya bergemuruh di telingaku, sementara esensi yang kudapat adalah perasaan dingin dan pilu, isyarat aku tengah menyentuh lukanya yang terdalam, yang selalu disembunyikannya,

“Thiva, maaf…,” ujarnya lirih. Suaranya bergetar. “Maafin gue…. Gue…udah engga bisa balik…. Kalau gue balik, gue cuman bakal bikin lo sengsara….

“Gue…bakal bikin lo mati….”


-----------------


Arya

Gue sendiri bingung, kenapa tiba-tiba dia meluk gue sekenceng ini. Gue pun engga ngerti, buat apa gue ngebalik badan lagi dan nunggu dia, ngeliatin dia dengan kasihan, dan nyaris berusaha nolong dia. Kenapa mata gue malah nelusurin seluruh tubuhnya, nyariin luka-lukanya dia? Padahal gue tau betul, apa konsekuensi buat dia kalau sampai dia deket sama gue. Apakah gue…?

Oh ya, gue tau. Gue emang sayang banget sama dia….

“Kakak…. Kakak…. Kak Arya….” Oh my, dia manggil gue dengan sebutan itu, sebutan yang udah lama engga gue denger selama empat tahun ini. Panggilan yang sebenernya…gue kangenin banget. “Gue mohon…balik lagi…kayak dulu…. Gue engga mau…. Gue….”

Dasar cewek. Kalau nangis bisa bikin baju gue anget. Refleks tangan gue bergerak meluk dia. Gue peluk dia erat. Saat ini, gue biarin benteng yang selama ini menghalangi gue untuk terbuka sama dia dan sobat-sobat gue itu terbuka sedikit. Tapi gue tau, gue engga akan mungkin bisa ngebongkar lagi seluruh dinding itu. Gue terlalu capek untuk percaya, atau mungkin sebenernya gue cuman engga mau mereka….

“Thiva, maaf…. Maafin gue…. Gue…udah engga bisa balik….” Gue mohon, mudah-mudahan dia ngerti! “Kalau gue balik, gue cuman bakal bikin lo sengsara….

“Gue…bakal bikin lo mati….”

Sontak dia ngelepasin pelukan gue. Matanya ngebelalak, kaget banget dengan apa yang gue ucapin. Lagian, yang gue ucapin itu bener. Dia engga akan mungkin ngerti, dan kenapa gue bisa sebodoh itu sampe ngarepin dia untuk bisa ngerti? Arya…Arya, lo itu emang bego, ya!

“Maksud lo apa?”

Gue mengedar pandang ke sekeliling, mudah-mudahan ujan ini bisa nutupin semua yang gue lakuin ke dia, dan engga ada satu orang pun yang ngeliat. Gue tatap dia lagi, matanya keliatan bingung, kecewa, engga ngerti, segala macemlah! Pengen rasanya gue bisa jujur sama dia, tapi…kalau gue gitu, dia dan temen-temen lain bakal….

“Kak? Lo denger gue ‘kan, Kak?! Please, kasih tau gue apa yang terjadi sama lo! Biarin gue ngertiin lo lagi! Biarin lo percaya lagi sama gue….”

“LO ENGGA AKAN NGERTI!!!!” Bener-bener, dada gue jadi sakit banget, entah karena kata-kata dia, atau hati gue yang terlalu sayang sama dia sampai bisa nyakitin dia kayak gini. “Lo engga akan ngerti, Va!! LO ENGGA AKAN PERNAH—”

“APANYA YANG GUE ENGGA AKAN NGERTI, KAK?! LO YANG ENGGA NGEBIARIN GUE MASUK LAGI KE DALAM KEHIDUPAN LO, ‘KAN!!”

Dia ngejerit, natap gue tajem tanpa henti. Tapi…. Sial!! Dia pake mau nangis segala, lagi! Kenapa sih, gue selalu nyakitin dia kayak gini?

“Bahkan orang tua lo juga sama, mereka nutup pintu hati mereka ke gue dan sama sekali engga ngebiarin gue masuk! Apa yang sebenernya terjadi sama lo dan keluarga lo, Kak? Kenapa lo udah engga mau lagi ketemu kita semua? Apa yang salah dari kita semua, Kak?”

Anjrit!! Dia ke rumah gue?

“Lo…ngapain pake dateng ke rumah gue?”

Sejenak dia nunduk, kayak ragu mau ngomong.

“Ya, maafin gue…. Gue cuman….”

“Bener, Va. Lo tuh engga akan pernah ngerti apa-apa lagi tentang gue. Sekarang, tinggalin hidup gue! Jangan pernah lagi lo datengin gue dan keluarga gue, begitu juga sama yang lain. Paham!”

“Engga, Ya…. Engga gini…. Ada yang harus kita beresin. Ada yang….”

“DIEM!!! TINGGALIN GUE, THIVA!!”

Tanpa basa basi gue langsung berbalik dan lari, meski masih bisa gue denger teriakan dia yang manggil nama gue bersamaan mata gue yang jadi panas dan dada gue yang perih engga karuan….


-------------to be continued-----------------------------------------------------------------


Gimana? Aneh, yah? Hahaha, tapi itulah yang terjadi di antara dua tokoh yang awalnya begitu dekat dan menyayangi satu sama lain ini. Hanya sedikit masalah membuat rasa kepercayaan di antara mereka goyah dan hancur. Intinya sih itu aja. Thanks for reading the story....

Minggu, Februari 03, 2008

Percakapan Kecil Di Antara Rintik Hujan

Ini cuma sebuah penggalan dari novel gue yang belum jadi, yang berjudul REGEN ~When I See The Rain~. Hahaha, gue cuma lagi pengen nulis aja apa yang kebayang di pikiran gue tentang dua tokoh yang asli unik aneh bin ajaib ini. Enjoy!


--------------------------------------------------------------------------------------


Satu jam berlalu semenjak seorang lelaki tua dipindahkan dari ruang ICU ke kamar mayat. Kaniesha, Andrew, Bibi Kannia, serta Paman Ferdy sudah datang dan tengah menunggu sanak saudara lainnya di ruang tunggu depan kamar mayat Rumah Sakit Hassan Sadikin Bandung. Sementara Kyra dan Rama sendiri tengah duduk berdiam diri di lobby ruang tunggu rumah sakit tersebut. Kyra masih sesekali menyeka air mata yang tak mau berhenti mengalir dari pelupuk matanya, sedangkan Rama tak henti-hentinya menghela napas berat.

Hujan pun turun perlahan di luar sana. Kyra menatap hujan itu sesaat, tak lama ia tersenyum getir.

“Kenapa?” tanya Rama pelan. Kyra menggeleng.

“Udah lama rasanya aku engga ngeliat hujan,” jawab Kyra. Senyum masih mengambang di bibirnya. “Setiap kali aku ngeliat hujan, aku yang lain pasti terbangun dan membuat masalah lain dalam hidupku.”

Pemuda di sisinya itu menatapnya, tak percaya. “Kamu sudah tahu, semuanya?”

“Iya. Mimpi dan diriku yang satunya lagilah yang menemuiku, menceritakan semua yang sudah dilakukannya terhadap orang-orang yang membenciku…tidak, lebih tepatnya orang-orang yang kubenci…. Kamu sendiri, tahu dari Kakek, ya?”

Pemuda itu lalu tersenyum simpul. “Kamu…engga jadi ngebunuh aku? Hari ini hari ketiga, ‘kan? Hujan lagi…. Biasanya kamu selalu ngebunuh orang di hari ketiga setelah kamu neror orang itu untuk pertama kali, iya ‘kan?”

“Untuk apa?” tanya Kyra. “Aku ngerasa engga punya alasan untuk ngebunuh kamu. Aku malah seharusnya berterima kasih sama kamu, kamu udah nelepon aku dan keluargaku, ngabarin soal kakek….”

“Engga perlu makasih. Itu cuman kebetulan aja. Aku memang lagi nyari kakekmu, nyari tahu tentang siapa kamu sebenernya….”

“Dan…akhirnya kamu tahu?”

Rama mengangguk perlahan. Kyra menatapnya, namun Rama tetap tidak melihat kepadanya.

“Kenapa? Kenapa kamu sampai lakuin hal seperti ini, demi aku yang…kotor ini?”

“Kamu engga kotor. Aku cuman mau bantuin kamu aja.” Sejenak Rama menoleh pada Kyra, dan tersenyum samar. “Aku mau bantuin kamu keluar dari kolam darah yang selalu kamu selami selama ini, itu aja.”

“Tapi aku udah ngebunuh orang, Ram…. Aku pembunuh…. Aku engga pantes ngerasain kehidupan damai lagi. Mungkin tempat yang pantes buatku itu yaa, rumah sakit jiwa….”

Air mata kembali mengambang di mata Kyra. Ia masih belum bisa menerima semua kenyataan, beban kehidupan yang ia pikul di bahunya sendirian. Perasaan bersalah menyesap memasuki batinnya. Dingin kembali mencekam, menyesakkan dan menyakitkan. Ia merasa tubuhnya begitu kotor, berlumpur dosa dan dusta.

Namun sebuah tangan hangat menyentuh permukaan hatinya yang membeku.

Dengan lembut, Rama merangkulnya dan menyandarkan kepalanya pada bahu pemuda itu. Dielusnya kepala Kyra perlahan. Meskipun tak ada kata-kata apapun dari mulutnya, namun Kyra tahu Rama tengah menawarkan sebuah kehangatan untuk mencairkan sesak yang membelenggunya. Tak dapat menahan perasaannya, Kyra menghanyutkan dirinya di dada Rama, menangis dan menumpahkan segala beban yang menghimpitnya di dada bidang pemuda itu. Dapat dirasakannya pula, kedua tangan hangat Rama yang merengkuh dirinya, membelainya dan menghangatkan dirinya.

“Kyra…maafin aku…,” ujar Rama lirih, nyaris berbisik. “Maafin aku…aku udah gagal jadi orang yang seharusnya ngelindungin kamu…. Maafin aku…. Maaf….”

Gadis itu bergeming, tetap menangis di pelukan Rama. Tanpa Kyra ketahui, hati Rama pun gemetar, seolah dapat merasakan pedih yang tengah Kyra alami. Pemuda itu pun mengeratkan pelukannya pada Kyra, berusaha mengusir semua gundah yang dirasakan gadis itu.

Hujan deras terus mengguyur bumi tanpa hent. Namun kali ini tanpa petir dan halilintar. Hanya tetesan-tetesan air yang mengisi sunyi di antara dua hati yang kelu itu.

Lama Kyra membenamkan wajahnya di dada Rama, hingga akhirnya ia berhenti menangis dan melepaskan diri dari pelukan Rama. Ditatapnya Rama begitu dalam, hingga Kyra menemukan sepasang mata yang balik memandangnya dengan lelah. Begitu lelah.

“Maafin aku ya, Ram…. Aku sempet marah-marah engga jelas waktu itu sama kamu….”

“Engga. Yang harusnya minta maaf itu aku,” balas Rama menepis permintaan maaf Kyra. “Aku udah bikin kamu kecewa….”

“Udah aku maafin, kok,” ucap Kyra sembari tersenyum polos. “Toh aku engga jadi ngebunuh kamu, ‘kan?”

Sejenak Rama terdiam, lalu ikut tersenyum. Kyra terpana, baru kali ini ia melihat senyum tulus yang hangat dari seorang Rama. Selama ini ia hanya mendapat pandangan mata tajam, senyum samar, atau senyum simpul yang diberikan pemuda itu padanya. Namun kali ini berbeda. Senyum itu begitu hangat dan damai, beserta tatapan mata pemuda itu yang meneduh.

“Makasih….”

Kyra mengangguk. “Sama-sama. Oh ya, Ram, kamu nanya engga ke kakek, tentang cara supaya aku bisa bebas dari kepribadian keduaku?”

“Bilang,” jawab Rama. “Kakek bilang engga ada, kecuali….”

“Kecuali apa?”

Sebelum menjawab, Rama menghela napasnya. “Kamu hilang bersama kepribadianmu itu. Intinya….”

“Aku bisa lepas dari semua itu kalau aku…mati?”

“Yang aku tangkap sih begitu,” ujar Rama. Namun cepat-cepat ia menambahkan. “Tapi, aku pasti bakal nemuin caranya suatu saat nanti. Kamu engga perlu khawatir, pasti ada jalan yang bisa kamu tempuh….”

Giliran Kyra yang terdiam sejenak. “Begitu, ya?” ucapnya lemah, sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Rama. Namun entah mengapa, Kyra tidak terlalu terpukul. Alih-alih bersedih, ia malah memikirkan satu-satunya jalan yang mungkin bisa ditempuhnya, asalkan ia terus bersama Rama.

“Hei, Rama…. Mau janji satu hal engga, padaku?”

Rama menoleh ke arahnya. “Apa itu?”

Gadis itu balas memandang Rama, tersenyum manis meskipun terlihat sesirat kesedihan di matanya. “Kalau suatu saat aku berubah lagi, berjanjilah bahwa kamu akan mengentikan aku, bagaimanapun caranya….

“Bahkan kalau kamu harus membunuhku, lakukan saja. Janji, ya! Jangan biarkan aku membunuh orang lain lagi!”

Sesungguhnya Rama tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun melihat mata Kyra yang jernih, Rama tak kuasa menolak. Ia mengangguk dan menyambut jari kelingking Kyra yang sedari tadi telah disorongkannya.

“Aku janji….”


----------------------------------------------------------------------------------------


Nampaknya sedikit menyedihkan, menyebalkan, dan bikin penasaran, yah? Itu cuma penggalan aja, sedikit percakapan yang sebenernya memuat intisari cerita ini. Ada yang udah bisa nebak akhir ceritanya? Yang menang bakal dapet piring cantik dari indomie (halah! apa sih, ga jelas banget!!!)